6 Komentar

Lembaga Paragereja dan Pemuridan Utuh-Imbang

Oleh S.P. Tumanggor

Lembaga-lembaga paragereja,1 khususnya yang membina umat Kristen dengan pola pemuridan, telah berjasa besar terhadap kekristenan. Betapa tidak? Lembaga-lembaga itu mengobarkan semangat orang Kristen terhadap perkara-perkara ilahi dan mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari nasi saja tetapi juga dari firman Allah.

Begitu besar jasanya sampai-sampai seorang rekan saya membandingkan lembaga-lembaga paragereja dengan lembaga-lembaga bimbingan belajar. Kemunculan lembaga-lembaga bimbingan belajar, menurutnya, menunjukkan bahwa ada hal-hal penting yang tidak bisa (lagi) didapatkan di banyak sekolah. Demikian juga, kemunculan lembaga-lembaga paragereja menunjukkan bahwa ada hal-hal penting yang tidak bisa (lagi) didapatkan di banyak gereja.

Salah satu hal itu adalah pemuridan yang giat dan bersemangat. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa banyak orang Kristen—meski sudah bertahun-tahun ke gereja—baru benar-benar bertumbuh secara rohani lewat pemuridan lembaga paragereja. Ini tentulah “pecut” bagi banyak gereja untuk berbenah sistem pengajaran, atau malah berbenah pengajar.

Lain dari itu, lembaga-lembaga paragereja sesungguhnya menunjukkan kecerdasan orang Kristen Barat dalam membentuk struktur-struktur baru demi kemajuan kekristenan. Dari pola hubungan Yesus dan murid-murid-Nya, orang Kristen Barat mengembangkan pola pemuridan dalam kelompok-kelompok kecil. Pola kelompok kecil ini, lengkap dengan staf penuh waktu dan staf paruh waktunya, 2 tentu saja tidak dikenal gereja-gereja tradisional yang sangat bergantung kepada rohaniwan lulusan seminari.

Saya sukar membayangkan orang Indonesia berani mendobrak struktur tradisional dan merintis struktur baru macam itu! Kita sudah terlalu senang jadi kerbau dicocok hidung, sehingga kita baru mau keluar dari suatu tradisi kalau sudah ada tradisi baru yang dipelopori orang asing. Ini tentulah “pecut” bagi umat Kristen Indonesia untuk cekatan memikirkan bentuk-bentuk pelayanan yang cocok dengan keadaan dan kebutuhan negerinya.

Namun, terlepas dari segala kebaikannya, ada pula “retak” pada “gading” lembaga-lembaga paragereja dan pola pemuridannya. Penekanan mereka pada aspek vertikal kekristenan sering kali malah menyekat orang-orang yang mereka muridkan dari dunia nyata di luar kekristenan. Para murid ini mungkin melek ideal-ideal Kristen bagi kehidupan, tetapi kerap gagap mengejawantahkannya selaras dengan konteks zaman dan wilayah hidup mereka.

Dengan penekanan seperti itu, lembaga paragereja melanjutkan semangat pietis-konservatif warisan Eropa-AS yang sering mengabaikan aspek horizontal kekristenan. “Mereka yang di pihak konservatif,” kata Chuck Colson, “… tetap secara menyedihkan tidak tahu-menahu tentang isu-isu yang sering mereka anggap sekuler atau duniawi, [mereka] percaya bahwa tugas orang Kristen hanyalah memenangkan jiwa bagi Kristus.”3

Maka lembaga paragereja terkadang tampak bagai seminari “bayangan” yang menempa orang Kristen jadi semacam rohaniwan (baca: pendeta atau pedakwah) non-gelar teologi. Mendalami isi Alkitab tentu saja baik, tetapi jika para tempaan ini tidak tahu-menahu tentang isu-isu duniawi, bagaimana mereka akan berhasil menerapkan hasil pendalaman mereka di dunia? Bagaimana mereka akan berhasil menjadi garam dan terang dunia?

Di lingkungan tempaan seperti itu, orang Kristen malah bisa menjadi majal. Ia bisa mengalami suatu mati rasa terhadap hal-hal non-rohani (“tidak tahu-menahu tentang isu-isu … sekuler atau duniawi” di atas). Ia juga bisa mengalami suatu sempit hati yang bersikeras bahwa dakwah Injil adalah satu-satunya urusan orang Kristen di bumi (“hanyalah memenangkan jiwa bagi Kristus” di atas). Hasil tempaan yang begini jelas akan sulit berbicara dan berbuat banyak di berbagai bidang kehidupan di dunia.

“Retak” pada “gading” itu tentulah tidak patut dimaklumi. Bukankah setiap lembaga paragereja, secara tersurat atau tersirat, bertujuan memberkati bangsa dan dunia? Jika demikian, mereka harus berani merombak pola pemuridan yang tidak menyeimbangkan aspek vertikal-horizontal kekristenan. Tradisi atau teologi yang anti keseimbangan itu layak mereka benamkan ke tubir laut.

Ya, lembaga-lembaga paragereja memang baik, dan saya percaya bahwa pada hakikatnya mereka adalah gereja juga. “Kita berbuat kesalahan besar,” tulis Jim Petersen, “ketika pertama kali mengizinkan istilah paragereja masuk kosakata kita. Bagaimana satu bagian Tubuh Kristus bisa disebut ‘para’ terhadap bagian-bagian lainnya?”4

Karena paragereja adalah Tubuh Kristus juga, baiklah ia mengerjakan tugas Tubuh Kristus yang utuh-imbang itu: vertikal dan horizontal.

Catatan

  1. Lembaga paragereja adalah organisasi Kristen lintas aliran yang bekerja secara mandiri di luar organisasi gereja.
  2. Staf penuh waktu bekerja sepenuh waktu untuk lembaga paragereja. Staf paruh waktu bekerja tidak sepenuh waktu kerja untuk lembaga paragereja.
  3. Chuck Colson dan Jack Eckerd. Why America Doesn’t Work: How the Decline of the Work Ethic Is Hurting Your Family and Future—and What You Can Do. Dallas: Word Publishing, 1991, hal. 95. Isu-isu “sekuler” atau “duniawi” yang dimaksud adalah isu-isu politik, ekonomi, budaya, sosial, dsb. Colson dan Eckerd adalah dua tokoh Kristen injili AS.
  4. Jim Petersen. Church Without Walls: Moving Beyond Traditional Boundaries. Colorado Springs, CO: NavPress, 1992, hal. 170.  Kata “para” dalam “paragereja” merupakan bentuk terikat yang berarti “subsider, pembantu” (banding “paramedis,” “paramiliter”). Petersen adalah seorang tokoh lembaga paragereja AS.

6 comments on “Lembaga Paragereja dan Pemuridan Utuh-Imbang

  1. Abang, terima kasih tulisannya. Tulisan yang amat baik. Namun saya punya beberapa pertanyaan terkait apa yang abang sampaikan, 1) lembaga paragereja mana yang abang kritik ;) ? Benarkah semua lembaga paragereja seperti itu? Saya sendiri memang tidak terikat dalam salah satu lembaga paragereja tertentu namun ada beberapa lembaga paragereja yang saya ikuti dan saya melihat bahwa mereka cukup berupaya untuk mendorong hubungan horizontal itu. 2) Sebenarnya sejauhmana peran dan tugas dari lembaga paragereja ini? Bagaimana abang melihat kesinambungannya dalam pelayanan gereja?

    Terima kasih abang.

    • “Kritik” ya? Aku lebih melihatnya sbg analisis dan masukan yg membangun (ada sorotan gading bagusnya dan gading retaknya). :) Jawaban: 1. Lihat kalimat 1 alinea 1 tu: “khususnya yang membina umat Kristen dengan pola pemuridan.” Nama-nama tak baik disebutkan. Benarkah semua seperti itu? Aku lagi bicara secara umum, jd tdk memukul rata “semua seperti itu.” Kalau ada yg tdk retak gadingnya, ya bagus sekali. Mmg itu idealnya. 2) Penjelasannya bs panjang dan bs bikin org “terantuk” (mungkin termasuk Moren :D), jd lebih baik diobrolkan scr tatap muka saja. Yg jelas sebagian petunjuknya ada di kutipan Petersen, dan itu berkaitan dgn cara kita memahami “gereja” selama ini, apakah berdasarkan Alkitab atau tradisi dan teologi. Terima kasih jg, Ren.

  2. Satu itu Samuel Tumanggor?
    Ahey
    Soal kritik: kalau begitu saya melihatnya sebagai kritik yang membangun :D

    Baiklah bang, Kapan-kapanlah kita berdiskusi ria tentang hal ini. Sangat bersyukur ada orang-orang kayak abang yang bersedia untuk dipakai memperlengkapi tubuh Kristus dalam bentuk paragereja ini.

    ^^

  3. Saya mau bertanya bang, lalu apa yang harus kita lakukan agar lembaga-lembaga paragereja yang hanya menekankan aspek vertikal dapat menyadari betapa pentingnya untuk ikut terlibat di dalam aspek horizontal? yang saya lihat adalah mereka hanya berdoa dan duduk diam menunggu berkat dari Tuhan untuk mengubah bangsa ini.

    • Menarik sekali: “hanya berdoa dan duduk diam menunggu.” :) Menurutku, warga (para)gereja yg sdh tersadar hrs menyadarkan rekan2nya yg “diam menunggu” itu. Caranya tentu bisa dgn mendiskusikannya scr formal atau tak formal, menganjurkan buku2/tulisan2 yg berkenaan dgn soal itu, mengubah “kurikulum” pembinaan (klu sdh punya kewenangan), dsb. Apa pun caranya, sedapat2nya lakukanlah itu dgn santun dan elegan.

Tinggalkan Balasan ke Morentalisa Batalkan balasan