7 Komentar

Berderma dengan Teknologi

Oleh Victor Samuel

Apa yang muncul di kepala kita ketika mendengar istilah “teknologi”? Mungkin internet, yang merevolusi komunikasi manusia seantero dunia. Mungkin juga CRH3, kereta apung magnet tercepat di dunia yang mampu menempuh jarak Jakarta-Bandung selama lima belas menit. Atau mungkin pula teknologi antariksa yang dapat menyediakan liburan seru di luar angkasa.

Perkembangan teknologi abad ke-20 merupakan salah satu titik penting dalam sejarah. Secara fenomena, tidak ada era lain yang paling mengubahkan cara hidup manusia. Kalau Leonardo da Vinci bangkit dari kubur sekarang dan melihat segala kecanggihan ini, agaknya ia akan kena serangan jantung lalu segera mati lagi!

Meskipun demikian, teknologi bukanlah milik semua orang. Teknologi lebih dekat dengan orang-orang yang mampu—mampu secara ekonomi (untuk berlibur di antariksa) atau mampu secara akal (untuk merancang CRH3). Dua kelompok inilah pengguna dan pengembang teknologi.

Ironisnya, kedua kelompok tadi hanya sebagian kecil dari seluruh penduduk dunia. Empat milyar (dari 6,8 milyar) jiwa hidup kurang dari Rp 36.000 per hari. “Kelompok mayoritas” ini masih kebingungan bagaimana caranya bisa bertahan hidup sementara “kelompok minoritas” kebingungan memilih iPhone 4S atau Samsung Galaxy S2. Kontras.

Kita tidak bisa tinggal diam. Kita butuh hati yang dermawan untuk memperpendek jurang antara yang kaya dan yang miskin. Bagi kelompok pengguna teknologi, berdermalah dengan harta yang dimiliki. Bagi kelompok pengembang teknologi, berdermalah dengan teknologi tepat guna: teknologi skala kecil yang padat karya dan berpusat pada rakyat.

Meskipun terkenal sebagai pemimpin politik dan moral, siapa sangka Mohandas Karamchand Gandhi ternyata peduli teknologi. Gandhi disebut-sebut sebagai “bapak” dari teknologi tepat guna. Lebih dahulu dari Mao Zedong, pemimpin komunis Tiongkok itu, Gandhi sadar bahwa para petanilah, bukan industri-industri besar, yang seharusnya menjadi basis pembangunan ekonomi di Asia. Kelangsungan hidup dan masa depan India seharusnya bergantung kepada kondisi desa-desa—tempat tinggal sebagian besar penduduk.

Intinya, Gandhi menyerukan desentralisasi teknologi. “Kemiskinan dunia,” ujar Gandhi, “tidak bisa diberantas lewat produksi massal (mass production), tetapi hanya lewat produksi oleh orang banyak (production by the masses).”

Ide bahwa teknologi secara diskriminatif memperkaya “kelompok minoritas” dengan memberdayakan “kaum mayoritas” sebagai buruh pabrik tidak dapat diterima dan kontradiktif di mata Gandhi. Pengembangan industri sektor moderen bukannya tidak perlu. Tetapi keberadaan mereka seharusnya melengkapi dan mendukung pengembangan industri-industri skala kecil di desa-desa, bukan sebaliknya. Ini pun seharusnya diterapkan di Indonesia yang mirip kondisinya dengan India.

Kita perlu bersyukur bahwa ini sudah digarap di dalam negeri. Teknologi mikrohidro bukanlah barang baru, tapi di tangan Tri Mumpuni, teknologi ini berhasil menjadi sumber uang untuk memberdayakan lebih dari 60 desa miskin dan terpencil. Bersama-sama dengan penduduk desa, Puni berhasil “mempermalukan” PLN. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pada Agustus 1999, rakyat menjual listrik kepada PLN seharga Rp 290/kWh, yakni separuh dari biaya produksi listrik PLN tanpa subsidi. Dampaknya mengagumkan: petani-petani mendapat lebih dari dua juta rupiah per bulan.

Di bidang teknologi informasi, Indonesia juga punya Onno W. Purbo. Pemilik predikat wisudawan terbaik Teknik Elektro ITB ini berhasil mengembangkan sistem internet nirkabel yang murah dan mudah dikembangkan pada tingkat RT dan RW.

Rakyat Indonesia sudah terlalu lama menunggu wujud nyata dari janji-janji indah proyek besar pemerintah (yang terus terkorupsi). Teknologi tepat guna yang berpusat pada rakyat seharusnya menjadi solusi permasalahan bangsa. Masih banyaknya permasalahan rakyat kecil (air bersih, sanitasi, pendidikan, dll) memastikan bahwa masih banyak lahan subur untuk menumbuhkan benih-benih teknologi tepat guna.

Ini sekaligus menjadi pesan bagi kita yang berlatar pendidikan teknik. Ketika kita lulus, mungkin kita bangga bahwa kita sudah berhasil menghadapi Kalkulus, Rangkaian Listrik, Medan Elektromagnet, Fisika Kuantum, dst yang ruwet dan menjelimet itu. Tetapi rakyat miskin sama sekali tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi mereka adalah bahwa ilmu-ilmu yang melangit itu bisa membawa mereka keluar dari kemiskinan. Maukah kita sedikit berderma untuk mereka?

7 comments on “Berderma dengan Teknologi

  1. Terima kasih, Victor. Tulisan yang menginspirasi dan memperluas wawasanku. Indonesia bukan hanya mempunyai sumber daya alam yang berlimpah, tetapi juga tenaga ahli yang mumpuni. Sayangnya, bangsa kita masih terjebak dengan masalah mentalitas menikmati, bukan berkreasi.
    Tetap sehat di Belanda,ya Vic
    Maju terus! Pantang Mundur!!!

    • Halo Kak Nevi,

      Terima kasih sudah mampir. Aku senang kalau Kak Nevi terinspirasi dan diperluas wawasannya oleh tulisanku ini. Doakan supaya lebih banyak lagi, dan lebih dalam lagi, inspirasi maupun wawasan yang bisa kubagikan.

      Ya, kita perlu bersyukur ada tenaga-tenaga ahli dalam negeri yang mau memberikan dirinya memajukan bangsa sendiri. Sayangnya memang lebih banyak yang hanya ingin “menikmati, bukan berkreasi.” Padahal keduanya bukanlah sesuatu yang seharusnya bertentangan. Aku yakin jika hasil kreasi kita mampu membuat lebih banyak orang menikmati, pasti kita sendiri bisa menikmati lebih lagi apa yang kita lakukan.

      Salam.

  2. Hai Victor, tks utk tulisanmu! Sgt mencerahkan bagiku yang berwawasan rendah ttg teknologi, hahaha… :)

    Aku suka dengan bagian “Teknologi tepat guna yang berpusat pada rakyat seharusnya menjadi solusi permasalahan bangsa. Masih banyaknya permasalahan rakyat kecil (air bersih, sanitasi, pendidikan, dll) memastikan bahwa masih banyak lahan subur untuk menumbuhkan benih-benih teknologi tepat guna”

    Smg sepulangmu nanti ke Belanda, bisa jadi bagian untuk menumbuhkan benih-benih teknologi tepat guna. Amin.

    Salam,
    -Puansari-

    • Hai Kak Puan,

      Terima kasih sudah membaca. Aku bersyukur kalau memang tulisanku bisa mencerahkan.

      Ya, aku juga sedang dalam pergumulan bagaimana sepulangku nanti aku bisa berkarya bagi negeri. Mohon doanya bagi kami-kami yang belajar di luar ini. Semoga kami tidak terbuai dengan kehidupan negara maju dan akhirnya menjadi kacang yang lupa kulitnya.

      Salam.

  3. Terima kasih utk tulisannya, tulisan yg menginspirasi:) tulisan ini secara ngga langsung juga mengingatkan saya bhw siapapun dapat menjadi rekan sekerja Allah dgn apapun yang dia punya.. seseorang pernah berbicara demikian, ‘tidak ada yg tidak bisa dilakukan, yang ada adalah tidak mau’. Mungkin kata2 itu tidak sepenuhnya benar dalam praktik sosial, karena kita menyadari bahwa tentu ada berbagai pertimbangan yg perlu dipikirkan selama kita masih tinggal di lingkungan sosial dgn nilai2nya, yg ‘menuntun’ kita dalam memutuskan apakah sesuatu bisa kita lakukan atau tidak. Tapi hal itu tidak mengurangi kesetujuan saya pada pepatah ‘when there is a will, there’s a way’.
    Berbicara tentang kemiskinan, obatnya bukan kekayaan saya kira.. sehingga memberikan bantuan uang bukanlah jawaban yg selalu benar dalam hal ini. Dan kenyataan itu mendukung pula ide yg terbersit dalam tulisan di atas; bahwa siapapun bisa menjadi rekan sekerja Allah dgn apapun yg dia punya. Tidak perlu bingung mengusahakan yg tidak ada. Yg paham teknologi bisa membagikan teknologi, yg punya ilmu bisa membagikan ilmu dgn mengajar mereka yg tidak mampu membayar sekolah misalnya, yg punya uang tentu bisa memberikan uang kepada mereka yg membutuhkan, yg paham pengobatan bisa memberikan pengobatan kepada mereka yg masih mengandalkan pengobatan ‘ajaib’ di daerah2 tertentu–tanpa sebenarnya mengetahui risikonya, yg paham gagasan-gagasan sosial dapat membagikan gagasan2nya utk melihat dan merevisi gagasan yg terbukti kurang tepat menjadi dasar bagi sistem sosial yg ada, dan yg punya waktu (hey! siapa yg tidak punya waktu?) bisa memberikan waktunya untuk memperhatikan orang lain di sekitarnya yg memerlukan bantuan, dan kemudian melakukan sesuatu utk membantunya.
    Mungkin, kemiskinan tidak dapat dientaskan seutuhnya. Tidak ada sistem ekonomi yg sempurna utk menghilangkan kemiskinan, bahkan kepemilikan bersama dalam hal tertentu pun dapat menciptakan kemiskinan: miskin ide/kreativitas, miskin upaya karena mungkin kebutuhan2 dasarnya yg telah disediakan… Yg jelas, kemiskinan memanggil kita utk berderma atau berbagi dgn orang lain, dan tidak berfokus pada diri sendiri. Salam kenal:)

    • Halo Mi-Ae,

      Salam kenal! Terima kasih banyak untuk komentarnya. Aku senang karena komentar ini melengkapi (atau mungkin memperbaiki) tulisanku di atas.

      Saat menulis, apa yang kupikirkan ketika itu ternyata terlalu sempit, yakni hanya di dalam ranah teknologi sehingga pengelompokkan yang kubuat di atas tidak mencakup secara utuh kondisi nyata yang ada. Akhirnya muncullah kesan bahwa kelas ‘pengguna teknologi’ tidak punya apa-apa selain uang (yang kutulis sebagai “harta”). Aku setuju bahwa ini tidak sepenuhnya tepat. Memang biasanya ‘pengguna teknologi’ punya uang, tapi belum tentu uanglah yang perlu ia berikan. Bahkan, mungkin lebih sering uang bukanlah sesuatu yang ‘terutama’ seseorang berikan.

      Tiap orang memiliki kesenangan, bakat, dan beban yang berbeda-beda. Kupikir inilah yang ‘terutama’ perlu kita dermakan. Tentu bukan berarti kita tidak usah keluar uang karena hampir dalam semua proses kita perlu uang. Namun, yang perlu kita berikan seharusnya ‘melampaui’ uang. Justru seringkali pemberian ‘sekadar’ uang tidak menyelesaikan inti masalah yang ada.

      Pola pikir ini menurutku perlu menyegarkan konsep berderma kita. Uang seharusnya tidak lagi menjadi medium utama dalam berderma. Tuhan telah memberikan kepada masing-masing kita “harta” yang jauh lebih berharga dari uang. Atau lebih tepatnya, Tuhan “menitipkan.” Pemberian Tuhan itu bukanlah untuk dinikmati sendirian, melainkan untuk dibagikan juga kepada orang lain dan dinikmati bersama-sama.

      Salam.

  4. […] Indonesia di programku yang memilih topik tesis yang penerapannya dapat dieksekusi dan menjadi derma teknologi bagi masyarakat […]

Tinggalkan Balasan ke Victor Samuel Batalkan balasan